Muharram
Asal Penamaan
Nama Muharram berasal dari kata: haram yang artinya suci atau
terlarang. Dinamakan Muharram, karena bulan ini termasuk salah satu
bulan suci.
(http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27755)
Keutamaan Bulan Muharram
- Termasuk empat bulan haram (suci)
Allah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah
dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus..” (QS. At Taubah: 36)
Keterangan:
a. Yang dimaksud empat bulan haram adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan) dan Rajab.
b. Disebut bulan haram, karena bulan ini dimuliakan masyarakat arab,
sejak zaman jahiliyah sampai zaman islam. Pada bulan-bulan haram tidak
boleh ada peperangan.
c. Az Zuhri mengatakan:
كان المسلمون يعظمون الأشهر الحرم
“Dulu para sahabat menghormati syahrul hurum” (HR. Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, 17301)
- Dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ
وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah
menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan.
Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul
Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar,
antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
- Dinamakan Syahrullah (Bulan Allah)
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Keterangan:
a. Imam An Nawawi mengatakan: Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram
adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah. (Syarah Shahih Muslim, 8/55)
b. As Suyuthi mengatakan: Dinamakan syahrullah – sementara
bulan yang lain tidak mendapat gelar ini – karena nama bulan ini “Al
Muharram” nama nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya.
Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu,
orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan nama : Shafar Awwal.
Kemudian ketika islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dengan Al
Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3/252)
c. Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham [arab: شهر الله الأصم ] (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (Lathaif al-Ma’arif, hal. 34). karena itu, tidak boleh ada sedikitpun riak dan konflik di bulan ini.
- Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama. Hari
itu adalah hari Asyura’. Orang yahudi memuliakan hari ini, karena hari
Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama bani israil dari penjajahan
Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا ، يَعْنِى
عَاشُورَاءَ ، فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، وَهْوَ يَوْمٌ نَجَّى
اللَّهُ فِيهِ مُوسَى ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ ، فَصَامَ مُوسَى
شُكْرًا لِلَّهِ . فَقَالَ « أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ » .
فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah,
beliau melihat orang-orang yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau
bertanya: “Hari apa ini?” mereka menjawab: Hari yang baik, hari di mana
Allah menyelamatkan Bani israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun
berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. (HR. Al Bukhari)
- Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadlan
Hasan Al Bashri mengatakan:
إن الله افتتح السنة بشهر حرام وختمها بشهر حرام فليس شهر في السنة بعد
شهر رمضان أعظم عند الله من المحرم وكان يسمى شهر الله الأصم من شدة
تحريمه
Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan
menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan
dalam setahun, setelah bulan Ramadlan, yang lebih mulia di sisi Allah
dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini. (Lathaiful Ma’arif, hal. 34)
Hadis Dlaif Seputar Muharram
- Hadis: Siapa yang berpuasa sembilan hari pertama bulan Muharram
maka Allah akan bangunkan untuknya satu kubah di udara, yang memiliki
empat pintu, tiap pintu jaraknya satu mil. (Hadis palsu, sebagaimana
keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/199, dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 45)
- Hadis: Siapa yang berpuasa hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari
pertama bulan Muharram, berarti dia telah mengakhiri penghujung tahun
dan mengawali tahun baru dengan puasa. Allah jadikan puasanya ini
sebagai kaffarah selama lima tahun. (Hadis dusta, karena di sanadnya
ada dua pendusta, sebagaimana keterangan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 45)
- Hadis: Sesungguhnya Allah mewajibkan bani israil berpuasa sehari
dalam setahun, yaitu hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh bulan Muharram.
Karena puasalah kalian di bulan Muharram dan berilah kelonggaran
(makan enak dan pakaian baru) untuk keluarga kalian. Karena inilah hari
di mana Allah menerima taubat Adam ‘alaihis salam… (Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 46)
- Hadis: Siapa yang berpuasa sehari di bulan Muharram maka untuk satu
hari puasa dia mendapat pahala puasa tiga puluh hari. (Hadis palsu,
sebagaimana keterangan Al Albani dalam Silsilah Hadis Dlaif, no. 412)
- Hadis: Bulan yang paling mulia adalah Al Muharram (Hadis dlaif, sebagaimana keterangan Al Albani dalam Dlaif Al Jami’ As Shagir, no. 1805)
- Hadis: Pemimpin umat manusia : Adam, pemimpin bangsa arab :
Muhammad, pemimpin bangsa romawi : Shuhaib Ar Rumi, pemimpin bangsa
persia : Salman Al Farisi, pemimpin bangsa Habasyah : Bilal bin Rabah,
pemimpin gunung : gunung Sina, pemimpin pohon : bidara, pemimpin bulan :
Muharram, pemimpin hari : hari jum’at….(Hadis palsu, sebagaimana
keterangan Al Albani Dlaif Al Jami’ As Shaghir, no. 7069)
Amalan sunnah di bulan Muharram
- Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر – يعني شهر رمضان
“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada
yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadlan.”
(HR. Al Bukhari & Muslim)
- Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)
Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ».
Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)
Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال كفارة سنة
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa
Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa
setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim & Ahmad)
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ
تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى
فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ « أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا ».
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di
Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka
mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang
yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)
Keterangan:
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:
أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح صائماً فليصم )) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار
Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah
untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka
hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa,
hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian
setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa.
Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta
makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang
waktu berbuka. (HR. Al Bukhari & Muslim)
Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:
كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر
بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء ، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه
Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan
sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau
tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa,
siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari
& Muslim)
- Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا :
يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan
puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada
sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah
hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari)
Adakah anjuran puasa tanggal 11 Muharram?
Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11
Muharram, setelah puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadis:
صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما
“Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi.
Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al
Bazzar).
Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga
dikuatkan hadis lain, yang diriwayatkan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubro
dengan lafadz:
صوموا قبله يوماً وبعده يوماً
“Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya”.
Dengan menggunakan kata hubung وَ (yang berarti “dan”) sementara
hadis sebelumnya menggunakan kata hubung أَوْ (yang artinya “atau”).
Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan status hadis di atas:
Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif,
karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi
dia tidak sendirian. Hadis ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin
Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadis no. 2225)
Demikian keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajed.
Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak
disyariatkan, karena hadis ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan
Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad.
Hanya saja dianjurkan untuk melakukan puasa tiga hari, jika dia tidak
bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai bentuk kehati-hatian.
Imam Ahmad mengatakan:
Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari:
(tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian.
Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa
tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).
Disamping itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11
Muharram, masuk dalam cakupan hadis yang menganjurkan untuk
memperbanyak puasa selama di bulan Muharram. Sebagaimana yang
dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Ibnul Qoyim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:
a. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
b. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadis.
c. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
(Zadul Ma’ad, 2/72)
Bolehkah puasa tanggal 10 saja?
Sebagian ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberencana
untuk puasa tanggal 9, di tahun berikutnya, dengan tujuan menyelisihi
model puasa orang yahudi. Ini merupakan pendapat Syaikh Ibn Baz rahimahullah.
Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa
tanggal 10 saja tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi
dengan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dalam rangka
melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam majmu’ fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Bolehkah puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari
sebelumnya atau sehari sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang
mengatakan bahwa hukum makruh untuk puasa tanggal 10 muharram telah
hilang, disebabkan pada saat ini, orang yahudi dan nasrani tidak lagi
melakukan puasa tanggal 10.
Beliau menjawab:
Makruhnya puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang
disepakati para ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat tidak
makruh melakukan puasa tanggal 10 saja, namun sebaiknya dia berpuasa
sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Dan puasa tanggal 9 lebih
baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang lebih baik, dia
berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
: “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal sembilan
(muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram…..
Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya
tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari
sebelumnya atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)
Bid’ah – Bid’ah di Bulan Muharram
Ada banyak bid’ah yang dilakukan kaum muslimin terkait bulan
Muharram. Baik dalam masalah aqidah dan keyakinan maupun amal harian.
Berikut beberapa amal bid’ah di sekitar kita, terkait bulan Muharram:
Pertama, keyakinan bulan Muharram adalah bulan sial
Dalam bahasa jawa, bulan Muharram sering disebut dengan bulan Syura.
Sebagian masyarakat jawa berkeyakinan bahwa bulan syura adalah bulan
sial. Mereka dihimbau untuk tidak mengadakan kegiatan apapun ketika
bulan syura. Siapa yang berani mengadakan kegiatan di bulan syura,
awas, itu alamat ciloko.
Pada hakekatnya keyakinan ini adalah keyakinan syirik. Karena
berkeyakinan sial terhadap sesuatu tanpa dalil termasuk thiyarah. Dan
thiyarah adalah perbuatan kesyirikan. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الطيرة شرك الطيرة شرك
“
Thiyaroh itu syirik,
Thiyaroh itu syirik…” (HR. Abu Daud, At Turmudzi, dan dishaihkan Al Albani).
Kita tidak membahas lebih detail masalah ini, mengingat sudah sangat banyak tulisan yang mengupas masalah thiyaroh.
Kedua, Menampakkan kesedihan mendalam di bulan Muharram
Hari Asyura’, tergoreskan satu kenangan pahit bagi kaum muslimin. Bagi orang yang memuliakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabat dan keluarga beliau. Di hari Asyura’ Allah memuliakan
Husain bin Ali bin Abi Thalib dengan syahadah. Beliau dibantai di tanah
Karbala’ oleh para penghianat dari irak. Kita anggap ini adalah
musibah.
Namun perlu diketahui, ada musibah yang jauh lebih besar dari itu,
munculnya sikap ekstrim sebagian kaum muslimin karena motivasi
mengkultuskan Husain. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari
berkabung, hari belasungkawa besar-besaran.
Pada sepuluh hari pertama bulan Muharram, di sebagian negara, semua
cahaya dimatikan, manusia pada keluar, anak-anak memenuhi jalan, mereka
meneriakkan: wahai Husain,.wahai Husain…bunyi gendang terdengar di
mana-mana. Ada juga yang menusuk dan menyayat tubuhnya dengan pedang.
Sebagai bentuk bela sungkawa yang mendalam atas kematian Husain. Pada
saat yang sama, tokoh mereka berkhutbah menyampaikan kebaikan-kebaikan
Husain dan mencela para sahabat lainnya. Mereka mencela Abu Bakr As
Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan.
Merekalah gerombolan syi’ah Rafidhah, sekelompok manusia yang
membangun agama dan keyakinannya berdasarkan kedustaan tokoh dan pemuka
syi’ah. Manusia yang beraqidah sesat. Semoga Allah menjauhkan kita
dari kejelekan mereka.
Ketiga, Bergembira di hari Asyura’
Kebalikan dengan kelompok sebelumnya. Kelompok ini menjadikan hari
Asyura’ sebagai hari raya dan kegembiraan. Merekalah sekelompok orang
yang memproklamirkan menjadi musuh syiah rafidhah. Mereka adalah
kelompok khawarij dan kelompok menyimpang dari bani umayah. Mereka
memiliki prinsip mengambil sikap yang bertolak belakang dengan syi’ah.
Syaikhul Islam Ibn taimiyah mengatakan,
“Dulu di Kufah terdapat kelompok syiah, yang mengkultuskan husain.
Pemimpin mereka adalah al-Mukhtar bin Ubaid ats-Tsaqafi al-Kadzab (Sang
pendusta). Ada juga kelompok an-Nashibah (penentang), yang membenci Ali
bin Abi Thalib dan keturunannya. Salah satu pemuka kelompok an-nashibah
adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Dan terdapat hadis yang shahih
dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
سيكون في ثقيف كذاب ومبير
“Akan ada seorang pendusta dan seorang perusak dari bani Tsaqif” (HR. Muslim)
Si pendusta adalah al-Mukhtar bin Ubaid – gembong syiah – sedangkan
si perusak adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Orang syiah
menampakkan kesedihan di hari asyura, sementara orang khawarij
menampakkan kegembiraan. Bid’ah gembira berasal dari manusia pengekor
kebatilan karena benci Husain radliallahu ‘anhu, sementara bid’ah
gembira berasal dari pengekor kebatilan karena cinta Husain. Dan
semuanya adalah bid’ah yang sesat. Tidak ada satupun ulama besar empat
madzhab yang menganjurkan untuk mengikuti salah satunya. Demikian pula
tidak ada dalil syar’i yang menganjurkan melakukan hal tersebut. (Minhaj
as-Sunnah an-Nabawiyah, 4/555)
Dan demikianlah kebiasaan ahli bid’ah. Mereka memiliki prinsip
ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Orang syi’ah menjadikan hari Asyura
sebagai hari berkabung sedunia. Meratapi kematian Husain, menurut
anggapan mereka. Di sisi yang berlawanan, orang khawarij dan kelompok
menyimpang di kalangan bani Umayah justru menjadikan hari tersebut
sebagai hari kebahagiaan, sebagaimana layaknya hari raya. Karena mereka
berprinsip untuk tampil ‘beda’ dengan rivalnya (syiah).
Sementara sikap ahlus sunnah adalah pertengahan, sebagaimana sifat umat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah puji dalam firman-Nya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Demikianlah kami jadikan kalian umat pilihan pertengahan agar kalian
menjadi saksi untuk seluruh umat manusia (pada hari kiamat), dan
Rasulullah akan menjadi saksi bagi kalian (bahwa dia telah menyampaikan
risalah kepada kalian). (QS. Al-Baqarah: 143)
Keempat, anjuran menyantuni anak yatim di hari Asyura
Terdapat sebuah hadis dalam kitab
Tanbihul Ghafilin,
من مسح يده على رأس يتيم يوم عاشوراء رفع الله تعالى بكل شعرة درجة
“Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari
Asyuro’ (tanggal 10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya,
dengan setiap helai rambut yang diusap satu derajat.”
Hadis ini menjadi motivator utama masyarakat untuk menyantuni anak
yatim di hari Asyura. Sehingga banyak tersebar di masyarakat anjuran
untuk menyantuni anak yatim di hari Asyura. Bahkan sampai menjadikan
hari Asyura ini sebagai hari istimewa untuk anak yatim.
Namun sayangnya, ternyata hadis di atas statusnya adalah hadis palsu.
Dalam jalur sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang bernama: Habib
bin Abi Habib, Abu Muhammad. Para ulama hadis menyatakan bahwa perawi
ini matruk (ditinggalkan). Untuk lebih jelasnya, berikut komentar para
ulama kibar dalam hadis tentang Habib bin Abi Habib:
a. Imam Ahmad: Habib bin Abi Habib pernah berdusta
b. Ibnu Ady mengatakan: Habib pernah memalsukan hadis (al-Maudhu’at, 2/203)
c. Adz Dzahabi mengatakan: “Tertuduh berdusta.” (Talkhis Kitab al-Maudhu’at, 207).
Karena itu, para ulama menyimpulkan bahwa hadis ini adalah hadis palsu. Abu Hatim mengatakan: “
Ini adalah hadis batil, tidak ada asalnya.” (
al-Maudhu’at, 2/203)
Keterangan di atas sama sekali bukan karena mengaingkari keutamaan
menyantuni anak yatim. Bukan karena melarang Anda untuk bersikap baik
kepada anak yatim. Sama sekali bukan.
Tidak kita pungkiri bahwa menyantuni anak yatim adalah satu amal yang mulia. Bahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan dalam sebuah hadis,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِى الْجَنَّةِ , وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى , وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا قَلِيلاً
“Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim seperti dua jari ini
ketika di surga.” Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari
tengah, dan beliau memisahkannya sedikit. (HR. Bukhari no. 5304)
Dalam hadis shahih ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
menyebutkan keutamaan menyantuni anak yatim secara umum, tanpa beliau
sebutkan waktu khusus. Artinya, keutamaan menyantuni anak yatim berlaku
kapan saja. Sementara kita tidak boleh meyakini adanya waktu khusus
untuk ibadah tertentu tanpa dalil yang shahih.
Dalam masalah ini, terdapat satu kaidah terkait masalah ‘batasan tata cara ibadah’ yang penting untuk kita ketahui,
كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام ؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة
بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من
غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة
“Semua bentuk ibadah yang sifatnya mutlak dan terdapat dalam syariat
berdasarkan dalil umum, maka membatasi setiap ibadah yang sifatnya
mutlak ini dengan waktu, tempat, atau batasan tertentu lainnya, dimana
akan muncul sangkaan bahwa batasan ini merupakan bagian ajaran syariat,
sementara dalil umum tidak menunjukkan hal ini maka batasan ini termasuk
bentuk bid’ah.” (
Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 52)
Karena pahala dan keutamaan amal adalah rahasia Allah, yang hanya mungkin kita ketahui berdasarkan dalil yang shahih.
Allahu a’lam…